LOKANANTA: Menyelamatkan Musik Indonesia (Bag. III)

Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah Republik Indonesia.
Oleh: Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria

Sebelumnya : 

***

“Lokananta itu sebuah sejarah.”

Dalam kesempatan terpisah, artis besar Lokananta lainnya, Bubi Chen, mengatakan hal yang sama. “Rekaman di Lokananta begitu berkesan,” kata Bubi Chen. “Rekaman saya adalah rekaman jazz pertama yang dilakukan Lokananta,” kata pianis yang masuk satu dari sepuluh besar pianis jazz dunia versi majalah Downbeat ini. Lokananta dengan studionya yang besar memang memungkinkan untuk melakukan live recording, sebuah proses rekaman secara langsung karena permainan jazz yang penuh improvisasi. 


Oleh karena itu materi rekaman tidak direkam terpisah dalam tiap-tiap track. Saat itu nama kelompoknya adalah Bubi Chen Kwartet, salah satu anggotanya adalah Jack Lemmers, atau lebih dikenal dengan sebutan Jack Lesmana. Mereka merekam delapan buah lagu, beberapa diantaranya berjudul “Buaian Asmara” dan “Semalam”. Sayang, kover piringan hitam ini sudah hilang. Salah satu bukti bahwa Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang baik. 

***

Jika diibaratkan, Lokananta sekarang seperti kura-kura Galapagos. Tua, besar dan berjalan lamban. Segala kejayaan dan cerita-cerita manis seperti menguap. Sebetulnya situasi ini berawal setelah Deppen sebagai tempat bernaung Lokananta dibubarkan seiring jatuhnya Orde Baru. Lokananta sempat mengalami masa-masa vakum selama kurang lebih tiga tahun.

Aktivitas rekaman terhenti meskipun penjualan album masih berjalan. “Kami cuma rekam ulang album-album lama untuk dijual lagi”, terang Titik. Yang kena getahnya adalah koleksi piringan hitam dan kaset hasil produksi sejak tahun 1956. Arsip-arsip penting dalam sejarah perjalanan industri musik Indonesia itu praktis hanya dibiarkan teronggok berdebu di sudut gudang. Membayangkannya saja sudah membuat miris. 

Keberadaan Lokananta sebagai brankas musik nasional rupanya sempat menjadi rebutan beberapa pihak. “Pemprov Jawa Tengah dan Pemkot Solo sempat berminat untuk mengelola Lokananta”, papar Pendi. Namun upaya tersebut terbentur status Lokananta sebagai BUMN. Ketidakjelasan status Lokananta akhirnya menemui titik terang pada tahun 2004. Lewat usaha Subrata, mantan Dirut Perum PNRI, status Lokananta resmi berada dibawah Perum Percetakan Negara RI. Namanya pun berubah menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta, yang bertahan hingga sekarang. 

Satu demi satu puluhan ribu piringan hitam dan kaset yang terserak ditata. Untuk menjaga jumlah koleksi, sejak tahun 2004 Lokananta tidak lagi menjual piringan hitam. Usut punya usut, rupanya a hal ini membuat sistem pengarsipan Lokananta sedikit kacau, kalau tidak mau dikatakan buruk. “Dulu, kalau satu album laris ya semuanya kita jual, ndak disisakan buat disimpan. Dulu belum berpikir kalau ini bakal jadi historical, jadi aset. Mungkin besok kaset nasibnya juga kayak gini”, kata Titik. 

Jika mengingat Tahun Industri Kreatif yang didengungkan pemerintah sejak setahun silam, kisah Lokananta adalah suatu ironi. Bagaimana cikal bakal inudstri musik nasional, yang merupakan subsektor dalam industri kreatif, justru terlupakan (atau sengaja dilupakan). Perumpamannya seperti sebuah rumah besar dengan pondasi yang keropos. Padahal presiden kita saat ini punya hubungan yang erat dengan industri ini, setidaknya jika dilihat dari tiga produk industri musik yang sudah dihasilkannya.

Sampai detik ini, Lokananta tetaplah sosok tua yang sendirian. Studio besar itu tetap saja sepi dari aktivitas rekaman meski sudah ada penambahan fasilitas rekaman hingga 24 track. Studio besar yang kosong itu terus menunggu. Menanti musisi-musisi muda jenius untuk menggantikan para virtuoso alumnus Lokananta yang sayup-sayup suaranya masih bergema di dinding Lokananta, hingga hari ini.

------

Artikel ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010 dan kembali dimuat di RollingStone.co.id dalam rangka menyambut ulang tahun Lokananta ke-56 yang jatuh pada 29 Oktober mendatang.

Sumber : Rolling Stone Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Ancaman dan Keamanan pada Sistem Operasi