LOKANANTA: Menyelamatkan Musik Indonesia (Bag.I)

Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah Republik Indonesia.

Oleh: Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria


Solo - Titik Sugiyanti memandangi ribuan piringan hitam penuh debu di depan matanya. Ruang penyimpanan tanpa pendingin itu penuh dengan ratusan rak besi yang menyimpan hampir 40.000 kaset, vinyl dari berbagai genre. Meski di luar Malaysia berkoar-koar mengakui bahwa lagu “Negaraku” adalah milik mereka, namun Titik yakin, di satu tempat dalam ruangan ini, Lokananta menyimpan versi aslinya. 

Setelah hampir seminggu melakukan pemilahan yang melelahkan, akhirnya lagu yang membuat kehebohan tadi ditemukan. Judul aslinya adalah “Terang Bulan” ciptaan Saiful Bahri yang asli orang Indonesia. Dalam arsip Lokananta lagu berdurasi 11 menit 15 detik ini pernah direkam di RRI Jakarta tahun 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes Studio Djakarta yang dipimpin langsung oleh Saiful Bahri.

Pada perkembangannya lagu bernuansa keroncong melayu inilah yang memikat pemerintah Malaysia yang baru merdeka untuk dijadikan lagu negara. Aden Bahri, ahli waris lagu "Terang Bulan" menuturkan bahwa lagu ini dihadiahkan presiden Soekarno untuk Malaysia. “Waktu itu hubungan Indonesia dengan negeri jiran masih sangat baik. Karena lagu ini juga akhirnya ayah saya mendapat penghargaan dari pemerintah Malaysia, fotonya masih ada”. 

Cerita kembali terulang. Kali ini adalah lagu “Rasa Sayang Eh” yang muncul di iklan promosi pariwisata Malaysia. Dalam videonya, lagu ini dinyanyikan secara bergantian oleh anak kecil hingga orang tua. Sepertinya lagu ini memang sudah mengakar dalam budaya Malaysia. Tapi tunggu dulu, lagu ini –baik lirik dan nadanya- tidak lain adalah lagu tradisonal “Rasa Sayange” yang kita kenal hingga hari ini berasal dari Maluku.

Masyarakat Indonesia seperti disulut urat marahnya, saat tahu tetangga sebelah kembali memakainya tanpa permisi. Lokananta pun kembali beraksi, menjadi pahlawan untuk kedua kali. Ternyata setelah ditelusuri lagu “Rasa Sayange” tersebut masuk dalam kompilasi Asian Games: Souvenir From Indonesia. Album ini merupakan buah tangan dari Indonesia bagi negara-negara peserta Asian Games IV di Jakarta pada tahun 1962, Malaysia salah satunya. 

Saat kasus klaim Tari Pendet oleh Malaysia pun Lokananta kembali bisa menunjukkan bukti, bahwa pendet adalah budaya asli milik Indonesia. Lokananta yang semula hilang pun akhirnya muncul di permukaan. Perusahaan rekaman yang terletak di jantung kota Solo ini ramai dibicarakan oleh media. Sayangnya itu tidak banyak merubah keadaan. Sebagai salah satu perusahaan rekaman tertua di Indonesia, Lokananta adalah sebuah kehidupan purba. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi seakan tidak terasa disini.

Tidak seperti gambaran perusahaan rekaman yang hip serta memajang deretan musisi muda berwajah segar, Lokananta adalah kebalikannya. Perusahaan rekaman tertua milik pemerintah ini hanya menyisakan sebuah nama besar. Gedung utamanya yang bergaya art deco seperti mengamini. Kusam dan muram. Waktu seperti berjalan lebih lambat di Lokananta.

Ada dua gedung utama yang dimiliki Lokananta; gedung lama dan gedung baru. Keduanya dipisahkan oleh sebuah jalan yang mengarah ke gedung lain milik Lokananta yang saat ini berubah fungsi sebagai lapangan futsal yang disewakan untuk umum. Setahun ini Lokananta memang sedang rajin-rajinnya mengundang masyarakat untuk datang. Lapangan futsal hanya salah satunya. Studio rekaman yang sebelumnya eksklusif, kini dibuka untuk umum. Pun demikian dengan dibukanya Sekolah Musik Lokananta. 

Gedung lama Lokananta berbentuk persegi dengan banyak ruang. Di bagian beranda ada toko yang menjual produk rekaman seperti kaset atau CD, tepat di seberangnya adalah ruang untuk pemesanan. Masuk ke dalam, terdapat ruang mastering. Disinilah koleksi-koleki piringan hitam dialihkan ke bentuk CD. Di seberangnya, ruang pimpinan berderetan dengan museum mini yang menyimpan benda-benda memorabilia seperti alat pemutar piringan hitam, mesin pengganda kaset, beberapa koleksi piringan hitam, juga satu partisi yang memajang lagu "Indonesia Raya" tiga stanza beserta sampul piringan hitamnya serta foto Bung Karno yang berdiri gagah. Dua ruang penyimpanan koleksi piringan hitam dan kaset video persis berada setelahnya. 

Sedangkan yang disebut gedung baru adalah ruang studio rekaman. Gedung ini dibangun tahun 1980 dan diresmikan lima tahun setelahnya oleh Harmoko, Menteri Penerangan saat itu. Dua buah ruangan di samping studio difungsikan sebagai ruang administrasi dengan perabot sisa-sisa peninggalan zaman Orde Baru, jika menilik pada tahun inventarisasi ditempel. Satu set komputer seperti menjadi penanda adanya modernisasi di Lokananta yang sudah sepuh. 

Tidak ada lalu-lalang pekerja seperti kondisi sebuah kantor pada jam kerja. Jumlah pegawai Lokananta hanya 18 orang, dengan jabatan yang kebanyakan berfungsi ganda dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Titik yang sudah 14 tahun bekerja di Lokananta memiliki jabatan sebagai administratur, akuntan, sekaligus humas dan sesekali bagian arsip.

Ini terjadi sewaktu Titik menemukan piringan hitam “Terang Bulan” dan “Rasa Sayange”, keduanya hampir dalam keadaan yang mengenaskan. Penuh debu dan berjamur akibat terlalu lama disimpan. “Akhirnya saya berinisiatif untuk membersihkan seluruh koleksi Lokananta dan menatanya kembali,” kata wanita asli Klaten ini. Hasil kerja bakti Titik dibantu karyawan lain selama setahun ini akhirnya bisa menyelamatkan ribuan koleksi piringan hitam Lokananta dari proses pelapukan.

***

Jika diibaratkan, Lokananta mirip bank sentral dalam industri musik Indonesia. Tidak ada koleksi lagu daerah di Indonesia ini yang lebih lengkap dari Lokananta. Sayangnya tidak banyak dokumentasi dan pengarsipan yang jelas tentang album yang sudah dikeluarkan oleh Lokananta dalam setengah abad terakhir. Apalagi melakukan pendataan ulang terhadap ribuan koleksi lagu yang dimiliki Lokananta bukanlah perkara mudah. Diakui atau tidak, sejak awal hingga saat ini Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang jelas. Banyak sekali dokumen dan perjanjian dengan artis yang saat ini tidak bisa ditemukan lagi. 

Beruntung ada seorang peneliti yang peduli. Phillip Yampolsky dalam disertasinya yang berjudul Lokananta: A Discography of The national Recording Company of Indonesia 1957-1985 merunut dengan baik semua koleksi Lokananta. Ia melakukan penelitiannya pada tahun 1980-1982 sebagai disertasi untuk University of Wisconsin. Buku Phillip inilah yang sekarang menjadi kitab suci untuk menelusuri seluruh arsip rekaman yang dimiliki oleh Lokananta. 

Dari penelitian Phillip, jenis keroncong, pop dan lagu Melayu mendominasi koleksi Lokananta. Selain itu koleksi lainnya meliputi genre lagu perjuangan, lagu gereja, klenengan, langgam Jawa, degung Sunda, tarling Banyumasan, gandrung Banyuwangi, pop Madura, lagu Batak, hadrah, gambus, hingga siaran propaganda milik Pemerintah RI.

Lokananta juga berperan menyimpan kepingan sejarah perjalanan bangsa ini. Lagu "Indonesia Raya" dalam tiga stanza telah tersimpan lama, jauh sebelum Roy Suryo membuat heboh dengan berbicara di depan infotainment jika dia menemukannya di Leiden. Rekaman pidato Bung Karno pada beberapa acara penting juga bisa ditemukan disini, salah satunya pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. 

Aden Bahri, anak dari Saiful Bahri, pencipta lagu "Terang Bulan", merasakan betul bagaimana peninggalan ayahnya tadi masih disimpan dengan baik oleh Lokananta. “Awalnya yang bilang Bens Leo waktu kita ngumpul, saya lalu ingat semua lagu di RRI ada back-up-nya di Lokananta”, kata Aden. 

Meski demikian, koleksi-koleksi tadi beserta puluhan ribu koleksi lainnya yang jumlahnya hampir mencapai lima ribu lagu dan 40 ribu keping piringan hitam, kondisinya masih mengenaskan. Keping vinyl yang sensitif pada suhu daerah tropis hanya disimpan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang minim.

“Ya cuma buka tutup jendela aja. Pas jam kantor kita buka, pas nanti waktu pulang ditutup lagi”, ujar Titik dengan senyum getir. Untuk mengusir bau apek ini Titik hanya mengandalkan pengetahuan tradisionalnya untuk perawatan darurat. “Saya biasanya mencampur bubuk kopi dan kamper untuk mengusir bau,” kata Titik.

Bandingkan dengan saudaranya, film. Sejak tahun 1975, film Indonesia memiliki Sinematek Indonesia (SI) yang menyimpan dokumentasi perfilman Indonesia, mulai dari materi film, skenario, poster film hingga surat undangan preview film. Untuk menyimpan koleksi film, terdapat ruang penyimpanan khusus yang mempunyai tingkat kelembapan tertentu untuk menjaga film tetap awet. 

Bukannya mau menakuti tapi jika terus dibiarkan, lambat laun harta karun musik Indonesia tadi akhirnya habis oleh jamur dan lenyap dimakan zaman. Lokananta kemudian mengambil langkah penyelamatan dengan mendigitalisasi seluruh koleksi piringan hitam ke bentuk audio CD. Baru dua tahun ini hal tersebut berjalan. 

Meski telambat tapi langkah ini adalah solusi yang paling mungkin. “Ketika saya masuk, proses digitalisasi ini baru dilakukan”, kata Bemby Ananto dari bagian re-mastering. Lokananta memang kekurangan sumberdaya manusia untuk melakukan hal-hal yang menyangkut teknis. Saat ini sudah hampir 80 persen dari lima ribu koleksi lagu yang dialihkan ke bentuk digital. 

Butuh usaha dan kerja keras dalam melakukan proses transfer ini. Sambil bersandar dan diselingi sayup-sayup langgam Jawa hasil transfer , Bemby bercerita bahwa dia sering lembur untuk urusan transfer digital ini. “Setiap hari saya dengerin langgam Jawa dan lagu daerah, awalnya saya ndak suka, tapi karena terbiasa akhirnya suka sendiri,” kata Bemby.

Dulunya ia adalah seorang mekanik. Bahkan sebelum di Lokananta, Bemby sempat bekerja di Jepang selama beberapa tahun. Saat kontrak kerja habis dan Bemby akhirnya pulang kampung, seorang teman menawarkan padanya untuk kerja di Lokanata. Tanpa pikir panjang Bemby menerima saja tawaran temannya.

“Dulu saya nggak bisa sama sekali software rekam digital seperti ini. Akhirnya saya belajar sendiri, otodidak,” kata Bemby. Ia mengaku Lokananta adalah tempat kerja yang ia inginkan, meski masih sering alfa untuk masalah kesejahteraan karyawan. “Saya mau kerja sampai Lokananta bisa kembali besar,” kata pria asli Solo ini.

Menurut Bemby, rekaman lawas produksi Lokananta ternyata juga tidak sepi peminat, meski yang sering datang adalah mereka yang masuk kategori old school. “Sering ada bapak-bapak yang minta ditransferkan satu piringan hitam ke dalam CD dengan format MP3,” kata Bemby yang juga bertugas mengubah album dalam piringan hitam ke dalam bentuk digital.

“Beberapa bahkan jadi kolektor. Ada seorang dari Semarang yang sering datang, setiap kali datang dia minta ditransfer lima vinyl sekaligus,” kata Bemby. Satu lagu dihargai 25 ribu rupiah. Jika ada delapan track dalam satu vinyl, maka biaya transfernya adalah 200 ribu rupiah.

***

Perkembangan teknologi memang ditanggapi secara lambat oleh Lokananta. Selain baru saja mengadopsi teknologi format digital, Lokananta belum beranjak untuk membuat situs sebagai sarana pemasaran digital. Pendi Heryadi, kepala Lokananta, menjelaskan bahwa banyak kendala yang dihadapi untuk melakukan alih teknologi. Hal klise seperti pendanaan dari pemerintah pusat dan kurangnya sumber daya manusia adalah dua masalah utama yang dihadapai Lokananta.

“Kami ini sulit, sebagai sebuah perusahaan negara, ada struktur dan birokrasi yang jelas, sedangkan Lokananta yang jauh dari pusat ini hanya bisa menunggu,” kata Pendi. Dirinya juga menceritakan kalau selama ini pemeliharan peralatan rekaman terpaksa dilakukan secara kanibal. Kembali lagi, ujung-ujungnya dana.

Dalam kantornya yang lengang Pendi menceritakan visinya sebagai nahkoda kapal yang mau karam. “Saat ini kami lebih terbuka, tidak membatasi diri, kami terbuka bagi siapapun yang punya itikad baik,” kata pria kelahiran Kuningan ini. "Kalo nggak ada partner selain pemerintah, terus terang saja kami sulit”, sambungya. Pendi berharap, Lokananta bisa menjadi lembaga register musik Indonesia. “Nanti kan Lokananta akhirnya bisa menjadi semacam perpustakaan musik Indonesia.”

Sebagai kepala Lokananta yang baru, Pendi tidak memiliki latar belakang apa pun yang berkaitan dengan industri rekaman. Awal karir Pendi dirintis sebagai pegawai di Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), institusi yang menaungi Lokananta setelah Departemen Penerangan dibubarkan pada tahun 1998.

Sumber : Rolling Stone Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Ancaman dan Keamanan pada Sistem Operasi