LOKANANTA: Menyelamatkan Musik Indonesia (Bag. II)

Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah Republik Indonesia.
Oleh: Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria

LOKANANTA: Menyelamatkan Musik Indonesia  (Bag. I) baca disini...



***
Sebelum menjabat sebagai kepala Lokananta, Pendi sebenarnya ditugasi oleh pimpinannya untuk melakukan riset pasar percetakan di Solo. Ternyata ada pergantian kepemimpinan di PNRI pusat. Oleh pimpinan yang baru, Pendi kemudian diangkat menjadi kepala Lokananta yang baru. “Industri rekaman adalah hal baru bagi saya,” kata Pendi yang sebelumnya lebih banyak bergelut di bidang industri grafika. “Pernah selama beberapa minggu saya bengong saja, ndak ngapa-ngapain”, kata Pendi yang baru tiga bulan ini menjabat. 

Indonesia di medio 1950-an. Saat itu RRI masih menjadi raja, radio dengan jangkauan paling luas dengan segmen pendengar dari semua umur. Program utamanya berupa siaran berita dan pemutaran musik permintaan dari pendengar yang dikirim melalui lembar pilihan pendengar. Nama-nama musisi besar seperti Nat King Cole, Frank Sinatra, dan Elvis Presley merajai chart musik RRI, mengalahkan penyanyi lokal seperti Titim Fatimah yang beken dengan pop Sunda-nya.

“Saya juga lebih suka Nat King Cole waktu itu, Titim Fatimah kan ndak enak, ha ha ha”, kata R. Iman Muhadi (72), pensiunan staf Direktur Utama dan Humas Lokananta. 

R. Maladi, Direktur RRI Jakarta saat itu pun terlihat resah melihat kenyataan bahwa lagu Barat mendominasi pasar pendengarnya. Maladi lalu menginstruksikan kepada 49 jaringan RRI di seluruh Indonesia untuk mengirimkan rekaman lagu daerah masing-masing. Setiap stasiun lokal minimal mengirimkan dua buah lagu.

Dalam waktu singkat, RRI memiliki 98 buah lagu daerah dari seluruh pelosok Nusantara. Seluruh koleksi itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dan disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia. Pabrik pengganda pringan hitam yang awalnya hanya memenuhi kebutuhan siaran RRI inilah cikal bakal Lokananta.

Maladi, yang pernah diangkat menjadi Menteri Penerangan selama dua periode (Kabinet Kerja I dan Kabinet Kerja II), bersama dua rekannya R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang masing-masing menjabat sebagai Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta pun berinisiatif mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah. Akhirnya, tepat pada tanggal 29 Oktober 1956 pukul 10 pagi waktu Jawa (sekarang WIB), Lokananta resmi berdiri di Solo. Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian Penerangan Republik Indonesia di Surakarta, begitu nama lengkapnya.

Sebelum Lokananta, perusahaan piringan hitam ini bernama Indra Vox. Indra adalah singkatan dari Indonesia Raya, sedangkan Vox adalah bahasa latin yang artinya suara. “Sayangnya nama Indra Vox ini ditolak oleh Presiden Soekarno, soalnya menurut beliau ndak jelas,” kata Muhadi. Setelah mencari berbagai nama pengganti, akhirnya Maladi menyebut Lokananta, seperangkat gamelan surgawi yang bisa berbunyi sendiri dengan nada yang indah. Alat musik ini terletak di negeri Suralaya, negeri para dewa menurut mitos pewayangan Jawa. Presiden Soekarno setuju. Entah ada hubungannya atau tidak, namun hingga hari ini seperangkat gamelan Kyai Sri Kuncoro Mulyo yang ada dalam ruangan studio Lokananta seringkali berbunyi sendiri. Bisa jadi memang benar; nama adalah doa. 

Selain Lokananta, saat itu ada lima perusahaan rekaman besar lain di Indonesia, yaitu Remaco, Mesra, Elshinta, dan Dimita yang ada di Jakarta. Sedangkan di luar Jakarta yang paling besar adalah Golden Hand. Masing-masing perusahaan rekaman memiliki pasar dan segmennya sendiri. Seperti Remaco (Republic Manufacturing Company) yang banyak merekam lagu dengan genre keroncong Kemayoran atau Golden Hand di Surabaya yang lebih suka merekam dangdut. Lokananta sendiri, terkait PP No. 125 Tahun 1961, lebih banyak merekam berbagai macam lagu daerah, khususnya keroncong dan langgam Jawa. Segmentasi musik pada masa itu kebanyakan sangat dipengaruhi oleh letak geografis.

Pemilihan kota Solo sebagai markas Lokananta pun merupakan cerita yang menarik. Saat itu Maladi berpikir bahwa Solo adalah pusat budaya karena dekat dengan empat kerajaan besar di Jawa yang masih eksis: Kasunanan dan Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan dan Pakualaman di Jogja. Niat awal didirikannya Lokananta memang menjadi pusat rekaman untuk lagu dan budaya Nusantara. Selain itu karena pusat RRI pada waktu itu adalah di Solo bukan di Jakarta.

“Kalau diibaratkan sumur, ini merupakan sumber budaya yang kalau digali ndak akan kering”, kata Muhadi. Sangat mungkin jika masterplan Maladi berhasil, Solo saat seperti Hilversum, sebuah kota pusat yang menjadi pusat industri media di Belanda. Idenya juga serupa, berawal dari sebuah Hilversum Radio. 

Pada awalnya Lokananta tidak memiliki studio sendiri. Semua rekaman dilakukan di studio milik RRI di seluruh Indonesia. Paling banyak dilakukan di RRI Solo. Akses istimewa ini didapat karena memang Lokananta lahir sebagai perusahaan transcription service untuk mendukung kinerja RRI pada saat itu. Hasil rekaman pun pada awalnya tidak dijual untuk umum, melainkan hanya dibagikan secara terbatas untuk seluruh stasiun RRI di Indonesia. Tapi karena banyaknya permintaan pendengar RRI untuk mengoleksi album terbitan Lokananta, akhirnya pada tahun 1959 perusahaan negara di bawah Departemen Penerangan ini mulai menjual hasil piringan hitamnya secara mandiri untuk khalayak umum.

“Waktu itu pendengar RRI suka sekali sama keroncong dan lagu daerah,” kata Muhadi yang saat itu masih menjadi tenaga honorer di RRI. 

Masa keemasan Lokananta, itu terjadi pada dekade 1970-1980. Saat itu Lokananta sudah beralih menggunakan kaset. Teknologi kaset diadopsi oleh Lokananta tepatnya pada tahun 1972, sedikit terlambat beberapa tahun dari perusahaan rekaman lainnya.

“Waktu itu penjualan piringan hitam menurun drastis, saat itu saya ditunjuk untuk melakukan riset pasar. Ternyata penyebabnya adalah para pembeli lebih suka format kaset daripada bertahan dengan vinyl,” kata Muhadi yang saat itu jabatannya di Lokananta adalah sebagai Manajer Produksi. 

Lokananta pun berubah haluan. Muhadi ingat ini adalah perubahan yang sangat besar dalam sejarah Lokananta, dimana sebelumnya perusahaan ini memang dikhususkan sebagai perusahaan piringan hitam. Format kaset ini akhirnya direspon manis. Setiap bulan Lokananta mampu melepas 100 ribu keping kaset di pasaran. Lagu-lagu Waldjinah serta berbagai gending Jawa menjadi jaminan laku saat itu.

“Selain itu produksi kita yang pasti laris adalah murottal Al-Quran dan adzan. Pasar terbesar untuk dua jenis terakhir ini ada di Jawa Timur,” kata Muhadi. 

Ternyata problem pembajakan bukan hanya masalah yang dihadapi industri musik saat ini saja. Sejak tahun 1982 Lokananta sudah berhadapan dengan para pembajak amatir. Pertama kali dicurigai karena penjualan kaset Lokananta menurun sejak saat itu. Muhadi kembali ditugaskan untuk melakukan riset pasar, akhirnya dia berhasil menemukan fakta bahwa banyak kaset Lokananta yang dibajak. Khususnya lagu-lagu populer yang banyak diminati masyarakat.

“Zaman segitu saya menghadapi 129 kasus pembajakan, itu cuma di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kami ajukan gugatan perdata di pengadilan. Saya berjuang sendiri saat itu. Kebanyakan pembajak ada di Surabaya, Malang, dan Bangkalan,” kata Muhadi. 

Dia menemukan adanya hubungan antara keluarnya Indonesia dari Konvensi Berne pada tahun 1958 dengan maraknya pembajakan. “Karena kita tidak ikut aturan hak cipta internasional, maka bebas saja mencetak lagu dari luar negeri tanpa harus bayar royalti. Puncaknya adalah ketika para pembajak ini akhirnya juga membajak lagu-lagu dalam negeri. Industri musik bisa mati,” kata Muhadi.

Selain itu, budaya kolusi juga membuat munculnya banyak perusahaan rekaman bodong. “Mereka itu para desk enterpreneur yang ndak punya label dan kantor tapi bisa menerbitkan album. Aneh kan ?” kata Muhadi.

Akhirnya sebagai salah satu petinggi Lokananta, Muhadi dituntut untuk mulai belajar hukum dan seluk beluk industri rekaman. Muhadi mengatakan jika saat itu pemerintah memberikan perhatian terhadap kasus pembajakan dan mengeluarkan perundangan yang ketat, maka pembajakan tidak akan subur seperti hari ini.

“Kasus pembajakan ini persoalan klasik industri musik,” kata Muhadi. 

***
Meski mengecam keras perbuatan para pembajak, tapi di sisi lain Lokananta juga tidak bisa memberikan standar yang jelas mengenai pembayaran royalti kepada artis-artisnya.

“Saya nggak tahu itung-itungannya gimana, tau-tau dikasih duit”, kata Waldjinah. Maestro keroncong ini masih terlihat kenes, meski sudah tiga tahun ini penyakit infeksi usus menggerogoti tubuhnya. Beberapa saat lalu, dirinya juga sempet jatuh terpeleset ketika mengisi sebuah acara di studio RRI Jakarta. “Masih sulit buat berdiri, sudah dua bulan ini saya nggak bisa nyanyi”.

Lahir di Solo, 7 November 1945, Waldjinah memulai karier menyanyinya sejak usia 13 tahun. “Dulu ibu saya sempat nggak setuju, dibilang mirip ledhek (wanita penghibur)”, paparnya sambil terkekeh. Debutnya adalah sebuah kompetisi kerjasama studio RRI Surakarta dan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dalam rangka promo film terbaru yang berjudul Delapan Pendjuru Angin.

Lagu wajibnya adalah lagu keroncong berjudul "Kembang Katjang" yang menjadi theme song film yang dibintangi oleh Bambang Irawan dan Chitra Dewi ini. Waldjinah, yang saat itu merupakan peserta termuda, mendapat juara satu. Dirinya kemudian mendapat gelar "Ratoe Kembang Katjang."

Tidak berselang lama, Waldjinah lalu ditawari Lokananta untuk rekaman album kompilasi Kembang Katjang bersama S. Bekti dan S. Harti yang lebih senior. Untuk diingat, menjadi artis Lokananta adalah hal yang prestisius bagi musisi saat itu. Kriterianya hanya dua, tapi justru inilah yang membuat hanya sedikit musisi yang bisa menembus.

”Cuma yang jadi juara Pemilihan Bintang Radio RRI atau yang diminta sama Lokananta”, kata Waldjinah. Tahun 1959, album Kembang Katjang dilempar ke pasaran. 

Debut album penuh Waldjinah adalah album Ngelam-Ngelami rilisan tahun 1967. Album ini berisi enam lagu. Beberapa diantaranya adalah ciptaan Gesang, seperti "Ngelam-ngelami," "Andung Basuki," dan "Dadi Ati."

Sayang, dirinya tidak tahu persis berapa album yang sudah dihasilkan saat bergabung dengan Lokananta. “Saya lupa jumlahnya, udah lama sekali. Tapi ada penggemar saya dari Jepang yang muter-muter di Lokananta sama Jalan Surabaya (Menteng, Jakarta) nyari piringan hitam saya lalu dikasih ke saya. Ya belum lengkap semuanya sih” kata Waldjinah.

Jumlah pastinya akhirnya didapatkan dari sebuah penelitian milik Sukanti dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta pada tahun 2002. Total ada tiga belas album berformat piringan hitam. Sebelas album merupakan album solo Waldjinah, sisanya merupakan kompilasi dengan penyanyi lain. Sedang yang berformat kaset sejumlah empat belas album. Selain keroncong, langgam Jawa juga mendominasi. 

Memang Waldjinah terkenal dengan lagu “Walang Kekek” yang direkam oleh label Elshinta pada tahun 1968, tapi Lokananta lah yang dianggap punya andil penting memoles penyanyi yang pernah berduet dengan Chrisye di lagu "Semusim" ini. Lokananta merupakan perkenalan pertamanya dengan dunia rekaman. “Waktu itu mikrofonnya cuma ada satu dan tinggi banget, saya kudu pakai dingklik (bangku kecil), yang mbero (vokal latar) waktu itu adalah pak Gesang”, kata Waldjinah. 

Tahun 1965, Waldjinah mendapat gelar sebagai Bintang Radio Jenis Keroncong Tingkat nasional. Pialanya diserahkan langsung oleh Bung Karno. Ini adalah gelar yang paling berkesan diantara setumpuk penghargaan yang pernah diraihnya. “ Ini gelar pertama dan terakhir. Pertama kali saya dapat piala, terakhir kali Bung Karno yang nyerahkan piala, ujar Waldjinah. “Lokananta yang membuat saya dikenal...dan laku”, sambungnya kemudian. 

Bagaimana tidak, Lokananta seakan punya penciuman yang tajam. Sesuai target pasar lagu-lagu Waldjinah, momen-momen yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa dimanfaatkan betul untuk berjualan album rekaman. ”Setiap Bakdha (Idul Fitri dan Idul Adha) sama musim giling tebu, Lokananta pasti bikin rekaman dan semua laku”, kata Waldjinah. Album Entit yang dirilis tahun 1971 menjadi album Waldjinah yang paling laris. Namun ketika ditanya berapa keping yang terjual, baik dari Waldjinah maupun Lokananta tidak bisa memberi jawaban yang pasti. “Saya pernah 3 bulan sekali rekaman album baru”, ujar Waldjinah seakan memberi gambaran kejayaan dirinya masa itu. 

Larisnya penjualan album membuat Waldjinah ramai ditanggap di berbagai tempat, yang paling diingat adalah show di Malang pada tahun 1970. “Tempatnya indoor dan berjubel, tiba-tiba ada polisi nembak ke atas, pelurunya mental di atap lalu nyasar kena penonton. Dua mati,” kenang Waldjinah. 

Sayang, karena pembajakan yang semakin menggila di medio 80-an, kerjasama Waldjinah dan Lokananta harus terhenti. Pada tahun 1983, album Entit yang dirilis ulang dalam bentuk kaset menjadi salam perpisahan bagi hubungan yang sudah terjalin selama lebih kurang 25 tahun. “Lokananta kewalahan ngadepi kaset-kaset saya yang dibajak,” ujar Waldjinah. Lokananta tidak sanggup lagi memproduksi album dari Waldjinah. Saking gemasnya, pernah dalam satu kesempatan saat di Surabaya Waldjinah sengaja memborong kaset-kasetnya yang dibajak. 

Setelah tidak lagi bersama Lokananta, Waldjinah gonta-ganti label rekaman. Labelnya yang terakhir adalah PT Gema Nada Pertiwi, kontraknya berakhir pada 2006. Sejak saat itu, Waldjinah enggan untuk kembali menjajal dapur rekaman. ”Malas kalau modelnya masih jual putus, nggak jelas itung-itungannya,” kata Waldjinah. 

Kini keseharian Waldjinah diisi dengan memberikan pelajaran menyanyi keroncong. Namanya “Belajar Menyanyi Keroncong”. Tempatnya di garasi rumahnya yang ada di daerah Mangkuyudan, Solo. Siapapun yang berminat bisa ambil bagian tanpa dipungut biaya. Sejak dimulai tahun 2004, semua biaya yang keluar diambil dari kocek Waldjinah sendiri.

Dua tahun belakangan, pemerintah kota Solo memberikan uang pembinaan seiring dengan dicanangkannya Solo sebagai Kota Keroncong pada tahun 2007 silam. Waldjinah juga menjabat sebagai ketua Himpunan Artis Keroncong Republik Indonesia (HAMKRI) untuk wilayah Solo dan sekitarnya. 

Meski sudah tidak ada hubungan kerja lagi, Waldjinah tetap menganggap Lokananta sebagai titik terpenting karier musiknya. Diakui Waldjinah, studio rekaman Lokananta adalah yang terbaik. “Saya sudah pernah coba beberapa studio, tapi Lokananta tetep yang paling bagus”, katanya sambil mengacungkan ibu jari.

Ruangannya yang seluas 14x31 meter membuat tak kesulitan untuk rekaman live. “Akustiknya juga bagus sekali, mau diluar petir sedang kenceng, tetep aja suaranya gak bisa masuk,” ujar Waldjinah seraya menambahkan kualitas sound studio Lokananta juga tetap yang terbaik. “Saya tidak ingin Lokananta hilang”, kata Waldjinah, sesaat kemudian dirinya terdiam.



Sumber : Rolling Stone Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Ancaman dan Keamanan pada Sistem Operasi