Sosok Lodewijk Ngantung Sang Pendekar Kabasaran

"Lodewijk Ngantung Mata hati dan mata tombak Sang Icon Kabasaran" 

Sosok Lodewijk Ngantung Sang Pendekar Kabasaran
Ketika beraksi matanya jalang, melotot! Ketika berpentas suara nyaring menggelegar: “I Yayat U Santi…!”. Beribu turis telah disambutnya, beratus pejabat telah menyapanya. Dari tangannya lahir beratus penari kabasaran. Sayang, tak secarik piagam penghargaan yang ia dapatkan dari dedikasinya sebagai motivator, pemerhati, maupun pelaku Tari Kabasaran. Yang ada, yang dipajang di ruang tamu rumahnya yang bersahaja adalah Piagam Penghargaan sebagai Petugas Pemilu dari Menteri Dalam Negeri. 

Padahal, lebih dari separuh hidupnya ia telah dedikasikan untuk kemajuan seni tari kabasaran. Memang, dari pengakuan yang tersimpul dari kalimat yang sederhana, sesederhana jalan hidupnya, ia tak membutuhkan itu.Yang ada hanya sebuah kerinduan: Tari Kabasaran jangan punah dari tanah Minahasa! 

Diusianya yang ke 78 tahun, ia sudah 52 tahun menari tari simbol keberanian Tou Minahasa. Dan ia akan terus menari, menari, menari, sambil memekit : “ I Yayat U Santi…! Tak peduli di hargai atau tidak, yang penting warisan leluhur ini tetap lestari. Lodewijk Ngantung adalah aktor utama dan penting dalam perjalanan Seni Tari Kabasaran di abad ini. Melalui pemberian dirinya pada perkembangan Tari Kabasaran - tanpa disadarinya ia telah menjadi ikon dari tari Kabasaran itu sendiri. 
Atraksi tari dengan ekspresi wajahnya yang garang dengan ciri khas mata kelereng berputar-putar sambil menggigit bibir - seperti harimau kelaparan, justru menjadi suguhan yang menghibur bagi pejabat-pejabat daerah, pusat maupun turis-turis lokal dan mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi Utara. Maka tak heran bila saja orang mengatakan bahwa tanpa Opa Owik, begitu ia disapa, Tari Kabasaran tak mempunyai jiwa. Tanpa kehadirannya, Tari Kabasaran kehilangan identitasnya yang unik. 

Begitu melekatnya figur Owik dalam perkembangan Tari Kabasaran, menyebabkan ia telah menjadi ikon Kabasaran itu sendiri. 

Buktinya, kakek yang berdomisi di bilangan Kalimpesan, kelurahan Paslaten II, Tomohon ini, selalu menjadi sorotan ribuan kamera para penonton, tamu, maupun media ketika ia sedang beraksi. Pose mata melotot, topi Spanyol berbulu burung, baju merah berjuntai, menggigit bibir, kedua tangan memegang tombak, kuda-kuda Anoa, adalah ciri khas yang telah mendunia milik ayah 8 orang anak ini. 

Potret Owik telah menghiasi jutaan album penggemar-penggemarnya, ribuan media telah mencetaknya, melalui kartu pos - wajahnya telah beredar keseluruh penjuru dunia. Pria sederhana kelahiran 29 Juni 1929 ini, telah menjadi maskot pariwisata Minahasa, Sulawesi Utara, dan Indonesia. Ia telah dan masih menjadi duta bangsa, aset dunia seni dan pariwisata, dan maestro di dunia yang gelutinya. 

Namun, setumpuk predikat yang melekat padanya, sampai saat ini tak satupun penghargaan yang pernah ia terima dari pemerintah daerah maupun pusat. Pengabdian yang tulus, kerja keras, dan kecintaanya pada seni budaya Minahasa inipun, tak cukup untuk sekedar ‘mengepul asap dapur’ bagi pria yang bekerja sebagai pembantu kantor Kelurahan Paslaten II Kota Tomohon ini. Tetapi, Opa Owik tak pernah kecewa dan putus asa dalam upaya melestarikan budaya leluhurnya, warisan Tou Minahasa sendiri. “Tari Kabasaran so bagitu kita cintai, so susah mo kase lapas,’ tuturnya dengan nada datar. 

Semangat Waranei telah terpatri dalam jiwaraganya dan akan terus bergelorah dalam lintasan hidupnya selama pekik I Yayat U Santi masih dan terus membahana di Tanah Minahasa. 

Sejatinya, menurut Owik, kabasaran, bukan hanya sekedar atraksi menjemput tamu, pentas seni menghibur orang, dan hiasan kartu pos semata, tetapi juga dan justru penting sebagai potret penyampaian budaya Minahasa yang sarat dengan nilai-nilai keberanian, kerja keras, perjuangan hidup, cinta tanah air, dan bersyukur pada Opo Empung (Tuhan). Menurutnya, intisari dari figur ‘Waranei’ (ksatria Minahasa) yang sebenarnya, seharusnya menjadi bahan baku identitas diri bagi generasi Tou Minahasa dimanapun mereka berada. 

‘Mencari garam di luar Wanua ( kampung) untuk di bawah pulang ke Wanua sendiri’ adalah salah satu ‘mata tombak’ yang harus dan segera dilempar kesasarannya yang sebenarnya, yaitu secara sederhana dalam wujut membangun negeri Minahasa dari hati yang paling dalam. Atau dari kacamata ‘anak rantau’, “kumpul doi banya-banya kong bangun itu kampong”. Bukan pulang kampung untuk mencari kekuasaan. 

Menurut Owik, keberanian para Waranei Minahasa zaman dulu ketika kejar-kejaran dalam perkelahian dan menari-nari setelah memenggal kepala musuh adalah realitas yang sungguh terjadi dari sejarah panjang kabasaran dan dimensi hidup orang Minahasa. Daya magis yang menggelora dalam diri para Waranei ketika berperang melawan musuh, bukan cerita dongeng semata. Tetapi itu dulu, sudah tak layak kita terapkan di zaman sekarang. Namun, nilai-nilai tersembunyi dari warisan para ksatria Waraney yang perlu kita lestarikan, yakni nilai-nilai keberanian dalam menghadapi ketidakadilan. 
**** 
Banyak kisah dan cerita unik yang pernah dialami penerima penghargaan dari Menteri Dalam Negeri sebagai Petugas Pemilu ini, sebagai Kapiten Tari Kabasaran. Satu pengalaman yang tak terlupakan, ketika tahun 1985, saat hendak pentas di Taman Mini, di anjungan Sulawesi Utara, badannya lemas dan tak ada kekuatan untuk menari. Ada apa ini? Sebelum pakai kostum badannya segar bugar siap tampil, kok somo tampil jadi lotoi begini, katanya membatin ketika itu. Seketika itu juga ia sadar, ia belum berdoa meminta perlindungan kepada yang Kuasa. Dan, seketika itu juga, iapun mengadakan dialog batin dengan Siow Kurur - Dotu Minahasa yang digambarkan mempunyai 9 lutut. Inti dari dialog itu, ia memohon agar jangan dipermalukan. Biarlah ia tampil dengan kekuatan seperti biasa. Usai dialog itu, kekuatannya pulih kembali dan iapun bisa menari menghibur penonton yang sudah menunggu. 

Memang, satu kebiasaan sampai sekarang, ketika akan tampil, Owik selalu berdoa memohon perlindungan yang Kuasa. Dan, setelah berdoa ia merasakan dan mendapatkan daya magis dari dotu-dotu Minahasa yang pernah hidup ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu di negeri Malesung. “Setiap kali menari, saya merasakan kehadiran mereka. Tak terlihat tapi dirasakan. Dan saya sering berdialog dengan mereka,”jelasnya. Kebiasaan ini yang membuat suatu ketika ia didekati oleh seorang petinggi daerah dan meminta langsung ‘opo-opo’ agar diberi kekuatan. Iapun menampiknya. Ia tidak memegang ‘opo-opo’ apapun. “Bagaimana kita mo kase kita sandiri nyanda pegang,’ jawabnya langsung kepada petinggi daerah tersebut. 

Menurut pemilik tinggi 155 cm ini, darah kabasaran mengalir dari kakek dan ayahnya. Sejak tahun 1955 ia telah ikut kabasaran. Tombak ‘legendaris’ yang selalu dipakainya adalah warisan kakeknya dan pernah dipakai untuk berperang melawan musuh saat kakeknya antara lain pergi mengambil garam di laut Wenang (Manado). Kakeknya, Rotinsulu dan beberapa waranei seperti Lodewijk Gosal di kenal sebagai Kabasaran (cakalele ) ternama di Paslaten Tomohon era 1900-an. 

Mata tombak yang panjangnya 40 cm dan pernah berapi ketika dipotret oleh seorang keluarganya itu, juga pernah di teliti dan mendapat pujian “joto”oleh seorang professor asal Jepang. Bahkan, gerakan-gerakan dengan tombak - ciri khas Owik, menurut proffesor itu, merupakan jurus-jurus tombak yang setiap geraknya mempunyai arti dan maknanya sendiri. Sayang, ia sudah lupa nama dan alamat professor itu, ia Cuma berharap ada orang yang mau meneliti setiap gerakan-gerakannya ketika pentas, sebab ia sendiri tidak paham. “Ketika pentas, saya bergerak mengalir begitu saja,” jelasnya. 

Satu hal yang tidak banyak orang tahu, dari balik pesona matanya yang kesohor itu, yang pernah membuat seorang gadis ‘bule’ pingsan, dan dicium oleh seorang turis wanita, bahkan pernah menyebabkan puluhan Tentara ( TNI) yang sedang berbaris di Stadian Walian, koca- kacir ketakutan, saat ia sedang beraksi, adalah kenyataan bahwa mata kanannya pernah terjuntai sampai kedagunya dan dimasukkan sendiri ke kelopak matanya - kena serpihan kayu di Desa Kayawu ketika ia sedang menebang pohon setengah abad yang lalu. 

Kini, diusianya yang senja, ia masih terus dan akan terus menari sampai Tuhan menghendakinya berhenti. Dan untuk meneruskan ‘darah kabasaran’ dikeluarganya, ia telah menyiapkan seorang anaknya. Muda-mudahan ia menjadi generasi keempat kabasaran dalam keluarganya, harapnya. 

Soal regenerasi dalam berkesenian, iapun heran kepada pemerintah seperti setengah hati mengembangkan seni budaya daerah. “Dorang datang kalau lagi perlu, kalau mau jemput tamu atau mo beking acara. Sesudah lenyap.” Tak heran, ia salut pada kebijaksanaan Walikota Tomohon yang mengalokasikan dana untuk tiap desa dalam rangka pengembangan seni budaya. Dan, bangga dengan Benny Mamoto, yang mau berbuat sesuatu bagi pengembangan seni budaya Minahasa. 

Menurutnya, pengembangan Tari Kabasaran lebih bagus dimulai dari anak-anak. Agar falsafah dari tari tersebut lebih tertanam serta pemahaman bahwa Kabasaran itu simpul kekerasan dapat dihindarkan. 

Begitulah Lodewijk Ngantung, penari tua yang perkasa menggantung asa, harap dan keyakinan, kelak melalui Tari Kabasaran akan lahir waranei-waranei muda yang tahan banting, siap bertanding dan memberi warna di era globalisasi. ****



**** Sebuah profil pelaku seni budaya yg di tulis oleh Recky Runtuwene.

Comments

Popular posts from this blog

Ancaman dan Keamanan pada Sistem Operasi