JATAM Sulteng: Kami Menolak Modal Asing di Bumi Sulawesi


Palu – Puluhan aktifis yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah (Sulteng) hari ini (25/4) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sulawesi Tengah. Mereka menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Bintang Delapan Mineral (PT BDM) yang beroperasi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Menurut rilis JATAM Sulteng yang diterima PerspektifNews, aksi yang mereka lakukan itu adalah buntut dari upaya perluasan tambang nikel PT BDM yang semakin memperburuk kondisi lingkungan di Kabupaten Morowali, sehingga dapat pula merugikan negara.


Dari investigasi JATAM Sulteng, surat IUP PT BDM bernomor SK540.3/SK.001/BESDM/IV/2010 memberi wi­layah konsesi pada perusahaan itu seluas 21.695 hektar, dimana mencakup 9 desa yakni Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea, dan Fatufia. Eksplorasi tambang PT BDM resmi dimulai tahun 2009 dan diperkirakan berakhir pada tahun 2025, dimana selama ini hasil tambang nikelnya secara keseluruhan diki­rim ke Republik Rakyat China (RRC) untuk mensuplay kebutuhan indutri ste­enless stell di negara tersebut.

Rilis JATAM Sulteng juga menyatakan, bahwa data-data investigasi mereka itu membuktikan hasil eksplorasi PT BDM sepenuhnya adalah untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke RRC, tidak memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.

“PT BDM bukanlah tambang anak negeri yang hasilnya untuk kebutuhan negeri sendiri, seperti propaganda mereka selama ini. Bagi kami, PT BDM adalah agen Trans Nasional Corporation atau TNC dengan pemodal utama dari RRC,” ujar Andika, Direktur JATAM Sulteng.

Berdasarkan rilis JATAM Sulteng, selain sebagai agen TNC/modal asing, PT BDM memegang 20 kuasa pertambangan di dua kabupaten, yaitu Morowali, Sulawesi Tengah dan Konawe, Sulawesi Tenggara, dengan menggunakan berbagai macam nama badan usaha yang berbeda-beda, dimana luas total wilayah eksplorasi 47.000 hektar

JATAM Sulteng mencatat, usaha eksplorasi PT BDM menimbulkan bencana di beberapa area, seperti terjadinya banjir bandang pada tahun 2010 yang menerjang pemukiman dan menghancurkan tanaman kakao, jambu mente, dan palawija, sebagai akibat dari penggundulan hutan lindung di hulu Sungai Siumbatu serta penimbunan di hillir sungai bagi jalur koridor transportasi orb nikel dari lokasi penggalian menuju pelabuhan di dusun Fatuvia. Bencana banjir akibat ulah PT BDM itu menimbulkan gelombang aksi protes masyarakat setempat.

“Pihak-pihak terkait bukannya menanggapi keluhan dan protes masyarakat tersebut, tapi malah berakibat ditahannya 28 warga oleh Kepolisian Resort Morowali, pada saat itu” ujar Andika.

Dalam rilisnya kepada PerspektifNews, JATAM Sulsel mengungkapkan bahwa tindakan perusakan lingkungan lainnya oleh PT BDM adalah pada hutan bakau dan kawasan mangrove di Fatuvia dan Bahodopi, dimana perusahaan tersebut melakukan reklamasi untuk kebutuhan pelabuhan serta penampungan ore, tanpa disertai syarat Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini tentunya melanggar UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Selain menuntut pencabutan IUP PT Bintang Delapan Mineral, kami pun menyatakan menolak penetrasi ilegal modal asing (TNC) korporasi RRC di bumi Sulawesi,” tegas Andika.

Sumber :  PerspektifNews
Foto : JATAM Sulteng

Comments

Popular posts from this blog

Ancaman dan Keamanan pada Sistem Operasi