Wartawan Bodrex : Damai Atau Diberitakan?
BANDA ACEH - Bagai borok zaman reformasi. Era kebebasan berpendapat yang menumbuhkan banyak media, tercoreng dengan munculnya oknum-oknum wartawan pemeras alias wartawan bodrex.
Fenomena ini terjadi hampir di seluruh daerah. Katakanlah di Aceh, wartawan bodrex yang hanya bermodal kartu pers, juga kerap berpetualang memeras narasumber dengan berbagai ancaman untuk meraup rupiah.
Ilustrasi. |
Dalam beraksi mereka tak kalah licik. Segala tuduhan disiapkan untuk menjerat narasumber target, biasanya pejabat. Kasus yang biasa dibawa adalah korupsi.
Sebelum memulai berbagai data disiapkan. Selanjutnya ditemuilah narasumber bersangkutan dengan alasan untuk melakukan konfirmasi.
“Saat itulah dimulai,” tutur Dani, mengaku wartawan sebuah tabloid mingguan terbitan Medan, Sumatera Utara, dikutip okezone di Banda Aceh, Selasa (21/6/2010).
Dani mengaku pernah memeras seorang pejabat di sebuah Dinas di kabupaten Pidie, Aceh. Bersama seorang rekannya, ia mengaku wartawan tabloid yang nyaris tak dikenal publik itu.
Ia menuding pejabat bersangkutan meminta fee proyek jutaan rupiah kepada seorang kontraktor pemenang tender. Informasi itu sendiri diperolehnya dari mulut ke mulut, termasuk dari orang dekat rekanan itu.
Mulailah ia mengumpul data dengan bertanya kepada sang kontraktor. Usai informasi akurat diperoleh, mulailah ia mendatangi sang pejabat dengan alasan minta konfirmasi.
“Kita tidak langsung menuding, tapi berbicara dulu baik-baik, kemudian baru tanyakan terus nego, kalau tidak mau diberitakan ya damai aja (minta bayaran),” katanya.
Dani enggan mengungkap berapa hasil pemerasan yang diperolehnya dari petualangannya itu. Tapi ia mengaku, aksinya itu berhasil dan cukup menakutkan sang pejabat.
Cara seperti itu, kata Dani, juga sering dilakukan rekan-rekannya sesama wartawan bodrex. Untuk melengkapi data-data yang akan dibawakan untuk memeras pejabat, wartawan bodrex kerap mendekati lawan-lawan politik si pejabat itu.
Tak heran, jika oknum wartawan pemeras ini sering menjalin hubungan baik dengan sejumlah pejabat dan kerap ‘menjilat’ untuk mendapat yang mereka inginkan.
Wartawan bodrex tak apatis. Mereka terus mengikuti isu khususnya melalui media-media lokal. Jaringan mereka juga ada hampir di seluruh kota. Mereka sering berbagi informasi, khususnya untuk acara seremonial pejabat yang bisa ditagih bayaran liputan alias amplop.
Jika ada sebuah kasus korupsi diberitakan media, biasanya kasus itu kerap dijadikan jalan untuk memeras pejabat yang diduga terlibat. “Ada juga yang membawa langsung koran yang menulis dan mengaku wartawan Koran itu, Tanya nanti sama pejabat itu, apa mau kami tulis lagi pak?” katanya.
“Ada juga yang main telepon atau sms buat kabarin ini, ujung-ujungnya minta duit,” ujar Dani.
Menurutnya, tak semua oknum wartawan yang bermodal kartu pers itu memeras. Sebagian di antara mereka malah hanya mengejar ‘amplop’ dari liputan-liputan di lapangan, khususnya seremonial Pemerintahan.
Pada hari dekat lebaran, wartawan bodrex ini juga sering menyantroni kantor Pemerintahan untuk meminta uang daging.
Tiap uang yang diperoleh dari pemerasan atau liputan, kata Dani, sering harus dibagi lagi dengan pemimpin medianya. “Ini sudah ada janji dari pertama dapat kartu, kalau tidak kita bisa dicoret,” katanya.
Hari-hari wartawan bodrex kompak sesamanya. Mereka jarang bergabung dengan jurnalis sesungguhnya.
Di Banda Aceh misalnya, jika wartawan biasanya sering ngumpul di Sekretariat bersama wartawan Aceh di Jalan SA Mahmudsyah dan Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh. Jurnalis bodrex lebih memilih warung-warung kopi dekat perkantoran Pemerintah untuk dijadikan tempat nongkrong dan menukar informasi.
Dani mengaku terpaksa menjalankan aksi jahat ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Pekerjaan lain juga tidak ada,” kata lelaki tamatan SMA ini.
Ketua AJI Banda Aceh Mukhtaruddin Yakob menilai, kehadiran oknum yang mengaku wartawan itu telah merusak image profesi jurnalis yang merupakan pekerjaan mulia.
Menurutnya munculnya jurnalis bodrex dan jurnalis amplop di antaranya karena minimnya pengawasan dan upah pekerja media belum sepenuhnya layak diberikan perusahaan media di Indonesia. Selain itu juga timbul akibat banyak wartawan tak memahami kode etik jurnalistik.
“Bukan perkara mudah memberantas ini,” katanya.
Sumber : Okezone
Comments
Post a Comment