KUTINGGALKAN MAMA KARENA "CINTAKU"
Tulisan Berserakan:
"KUTINGGALKAN MAMA KARENA "CINTAKU",
KUKEMBALI KEPADA MAMA KARENA "CINTANYA."
(Penuturan pengalaman inspiratif seorang sahabat, yang kurangkai kembali dalam tulisan berserakan untukmu di bulan Maria ini)
Segala kenangan indah masa kecil sampai remaja bersama "Mama" kuhempaskan dari hati dan pikiranku. Satu hal yang sangat kuat dalam batinku saat itu adalah "aku sudah dewasa. Aku bisa menentukkan kemana aku harus pergi dan di mana aku harus berteduh; kepada siapa aku harus memberi dan dari siapa aku harus menerima cinta. Ya, pacar, calon suamiku yang berbeda agama adalah segalanya bagiku lebih dari arti seorang mama." Kuakui kebenaran ini: "Cinta adalah bahasa universal yang mengatasi segala bentuk perbedaan di antara manusia." Dan, karena cintalah aku harus memilih sang pacar daripada mamaku sendiri.
Kuingat saat-saat terakhir bersama mama, yang hanya menatap kepergianku dengan tangisan tanpa jeritan. Yang ada adalah aliran-aliran air mata yang jatuh membasahi bumi. Aku merasa semuanya telah kupikirkan dengan matang untuk meninggalkan "sang mama" yang telah mengandung, merawat dan membesarku untuk mendapatkan cinta dari lelaki pujaanku, yang akan menjadi teman hidup sampai hayat dikandung badan."
Hari berganti minggu, bulan berganti tahun, dan tak terasa waktu 10 tahun telah berlalu di mana aku telah meninggalkan mama, meninggalkan keyakinan imanku sejak masa kecilku.
Tiba-tiba di awal bulan Oktober 2012 yang lalu ini, aku teringat akan sesuatu yang dulu biasanya kuperbuat bersama mama di kampung halamanku; "berdoa Rosario dari rumah ke rumah sambil mengarak patung "Bunda Maria." Kenangan indah itu muncul sangat menguat, yang membuatku merindu kehadiran mama dalam hidupku.
Malam itu, aku tak bisa memejamkan mata memikirkan kehidupanku; di satu pihak, lelaki yang kini telah menjadi suamiku, ternyata tidak seperti apa yang kudambakan darinya sebagai seorang suami. Selain kasar dalam tutur kata dan tindakannya, tapi juga menjalin hubungan dengan beberapa wanita lain di luar rumah sebagai selingkuhannya. Namun, di lain pihak, rasa rinduku terus menerus memanggilku untuk bersimbah di hadapan mama sambil memohon maaf atas segala tingkahku terhadap mama di waktu yang lalu.
Mengingat pesan dan tangisan mama, aku mencoba untuk menelepon mama, tapi rasa bersalah dan berdosaku seakan tak mengizinkanku untuk mendengarkan lagi suara wanita yang kusapa lembut nan mesra selama masa kecil dan remajaku sebagai mama.
Beberapa hari kemudian, karena rasa rindu yang samakin membara terhadap mama, aku memutuskan untuk meninggalkan suamiku, dan membawa anak semata wayang kami untuk kembali kepada mama. Keputusanku sudah bulat, dan aku harus pergi dari kehidupan yang menyiksaku di mana suamiku memang tidak lagi mengharapkan kehadiranku di sampingnya sebagai seorang istri.
Mobil yang kutumpangi akhirnya berhenti di depan "rumah" yang tidak lazim lagi bagiku karena menjadi tempat kenangan bertahun-tahun bersama mama di masa kecil dan remajaku.
Sedikit curiga karena ada tendah di depan rumah, dan banyak orang berkumpul di sana, aku berlari memasuki areal rumah mama. Semua orang yang mengenalku heran; ada yang bersyukur atas kehadiranku sementara yang lain memandangku dengan wajah marah dan mengeluarkan kata-kata cibiran.
Tidak menghiraukan semua cemoohan dan tatapan marah dari orang-orang di sekitarku, aku berhasil masuk ke ruang tamu rumah mama. Dan, betapa terkejutnya aku, lalu menjerit dan menjerit karena sosok wajah yang terbaring tak berdaya di dalam peti itu, adalah WANITA, yang kusapa "MAMA." Tak menghiraukan semua yang hadir di situ, aku terus menjerit dan menjerit sampai tak terasa aku telah pingsan untuk beberapa waktu lamanya sampai adikku membisikan kata-kata lembut di telingaku; "Ka, selamat kembali kepada mama. Walaupun mama tak melihat dan mendengarkan suaramu, tapi pasti mama telah memaafkanmu sebagai wujud nyata cinta keibuannya pada kaka, anaknya." Kata-kata terakhir mama untuk kami semua adalah "terimalah Tina bila ia telah kembali ke rumah kita." Rasa sedih dan haru tak tertahan lagi. Sambil memeluk tubuh diam mama, aku terus memohon maaf pada mama sampai adikku harus mengingatkanku bahwa mama harus dihantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Kawan, aku tidak tahu apakah kehadiranku di hari kematian mama telah menghapus semua salah dan dosaku terhadap mamaku, tapi satu yang pasti bahwa cinta mama telah memberiku hidup kembali bersama dia dalam imanku sebagai orang Katolik. Aku merasa bagaikan "anak yang hilang, yang telah kembali ke dalam pelukan sang bapa, walaupun aku sendiri tidak merasakan lagi pelukan kasih mama di saat-saat akhir hidupnya. Aku hanya berpesan kepadamu sebagai sahabatku; "Janganlah sakiti hati wanita yang telah melahirkanmu." Bila pun karena kecerobohanmu akhirnya engkau menyakitinya, maka tolong jangan biarkan rentang waktu itu melebar, yang menjadi jarak yang tak terhubungi antara mama dan engkau. Aku telah terlambat untuk memohon maaf dari mama; sekeras apa pun tangisanku, mama tidak bisa mendengarkan lagi. Yang ada hanyalah tubuh diam mama sebagai saksi bisu saat aku kembali, bersimbah dan memohon maaf darinya.
Kawan, aku tidak ingin engkau mengalami seperti apa yang kualami saat ini. Karena itu, mohonkanlah maaf dari mama dan papamu selama telinga mereka masih mendengar; selama mata mereka masih bisa melihat dan tangan mereka masih bisa membelai dan memelukmu. Aku telah kehilangan semuanya itu di akhir hidup mama, maka aku tak mau engkau, sahabatku mengalaminya sepertiku.
Goresan hatiku untuk hatimu, sobat.
***Duc in Altum***
Comments
Post a Comment