Sistem Kita Belum Siap Mendukung Pertambangan Berkeadilan Lingkungan
MANADO, Eksploitasi sumberdaya mineral tidak menguntungkan Negara,
kira-kira demikian salah satu hal yang dipermalahkan beberapa tokoh seperti
Amin Rais, Kwiek Kian Gie dan masih banyak lagi. Yusuf Kala terakhir juga
berpendapat agar semua kontrak karya korporasi besar ditinjau ulang. Hal
tersebut ditempatkan terpisah dari tulisan ini.
![]() |
Seminar Mengupas dan Mencari Solusi Permasalahan Pertambangan di Sulawesi Utara, di Gold Room Hotel Formosa, Kamis (19/9). Foto: Yuris Triawan |
Apakah kita pernah megetahui bahwa tambang di Indonesia
tidak hanya, Freeport di Papua, Inco di Sulawesi, NHM di Halmahera, Newmont dan
Meares di Sulut, Newmont di NTB. Ada 2559 perusahan tambang yang mengantongi
izin beroperasi di berbagai tempat di Indonesia, data hingga tahun 2006, tidak
termasuk izin yang keluar saat Otoda, migas dan galian C.
Kita mulai dari instrument Amdal, apakah ini sudah cukup
memadai. Bedanya dengan dokumen amdal yang lain hanya terletak pada informasi
tentang geologi, lokasi dan teknik penambangannya. Hal lain mirip dengan
dokumen amdal reklamasi pantai, hotel, dll. Kelemahan seperti ini tentu sangat
fatal.
Terkait amdal pertambangan, penilaian resiko terhadap
lingkungan harus memiliki kepekaan yang tinggi. Beberapa catatan penting,
pertama ketika tahapan konstruksi dimulai maka akan ada perombakan bentang alam
hingga sistem drainase dalam skala besar. Bila ini tidak masuk perhitungan maka
bukan hal kontroversi bila kemudian terjadi banjir di daerah hilir diikuti kerusakan
pada sistem das. Catatan sangat penting bahwa sistem das merupakan sebuah
kesatuan eksositem, dan ini ada aturannya.
Batuan yang ditambang tentu kaya mineral, jika emas diambil
yang lainnya tidak, meskipun beberapa perusahan juga mengambil beberapa mineral
sekaligus. Sangat penting untuk mencermati komposisi mineral pada batuan yang
ditambang. Pada kasus seperti di Buyat, ada argumentasi bahwa PT.NMR tidak
menggunakan merkuri sebagai pengikat emas, yang benar bahwa merkuri berasal
dari batuan, sebagian terlepas saat pemanasan dan lainya dibuang bersama limbah
tailing. Logam berat yang lain seperti aresenik dan antimony mengalami nasib
yang sama.
Hinggi kini, dasar pengaturan kualitas tailing (berupa
Kepmen LH) tidak dibuat atas dasar kajian yang memadai, bahkan dalam kasus
seperti di Buyat, Kepmen LH yang ditandatangani Pak Sonny Keraf menjadi hal
yang diperdebatkan. Begitu juga dengan tailing itu sendiri, apakah ini limbah
cair atau padat. Hingga kini Pemerintah belum membuat aturan tentang kualitas
sedimen.
Bagaimana dengan sistem kontrol, apakah hal ini sudah
memadai. Ada Inspektur Tambang (ESDM/Dinas Pertambangan) ada juga pihak LH/BPLH
atau Bapedalda, masing-masing dengan tugasnya. Dalam banyak kasus Inspektur
Pertambangan selalu seia-sekata dengan perusahan tempat bertugas, LH/BPLH atau
Bapedalda tugasnya hanya menerima laporan RKL/RPL sebagai syarat administratif
saja. Juga penting untuk dicatat bahwa sebuah lokasi pertambangan memberlakukan
sistem sekuriti yang luar biasa. Jangan heran bila hanya pihak ‘tertentu’ yang
dizinkan mendekati wilayah seperti ini.
Lingkup tutup tambang secara umum terlalu disederhanakan
sebatas reklamasi dengan penghijauan. Pada kasus tambang terbuka (open pit),
lobang galian utama dibiarkan terbuka, hampir sama kondisinya dengan sistem dam
tailing di darat. Curah hujan yang tinggi, guncangan akibat gempa bumi
menjadikan tempat-tempat tersebut sangat beresiko jebol. Terbentuknya air asam
tambang yang sangat berbahaya mencemari lingkungan sekitar sama sekali tidak
masuk dalam skenario tutup tambang, padahal pembentukannya bisa terjadi jangka
panjang dan sering sangat sulit diperhitungkan.
Bila ada persoalan lingkungan akan muncul kontroversi,
tim-tim independen, dst. Lepas dari persoalan ‘moral’, pengetahuan tentang
dampak aktivitas pertambangan terhadap lingkungan sangat sulit berada dalam
sebuah konsensus pengetahuan (scientific consensus). Dalam kondisi Indonesia ,
kita memiliki keterbatasan dana ketika diperhadapkan dengan tuntutan untuk
memenuhi kriteria kemutahiran teknologi (peralatan). Untuk hal yang satu ini
tentu bisa dipenuhi dengan mudah oleh perusahan. Banyak juga studi independent
akhirnya harus menggunakan peralatan perusahan dalam aktivitasnya.
Sistem dalam banyak aspek ternyata harus dibenahi dan dipersiapkan
terlebih dahulu bila kita ingin mewujudkan pertambangan yang berkeadilan
lingkungan.
Materi ini disampaikan oleh akademisi UNSRAT Rignolda Djamaluddin Phd dalam seminar Mengupas dan Mencari Solusi Permasalahan Pertambangan di Sulawesi Utara, di Gold Room Hotel Formosa, Kamis (19/9).
Komentar
Posting Komentar