Societeit de Harmonie, "The Story of E Accoustic"
Melismatis, salah satu group yang tampil pada "The Story of E Accoustic", band dengan konsep folk eksperimental. foto : ist/Melismatis-bspot |
Makassar - Di sudut gedung kesenian Societeit de Harmonie, malam itu, semuanya serba sederhana. Penerangan di ruangan berukuran separuh lapangan futsal itu hanya mengandalkan temaram cahaya lilin. Tidak ada dekorasi untuk mempercantik tempat itu.
Di gelanggang yang serba pas-pasan di Jalan Riburane, Makassar, itulah berlangsung "The Story of E Accoustic", Jumat malam lalu (08/02). Tanpa pembawa acara dan musik pembuka yang membahana, konser dimulai pada pukul 21.30 dengan alunan dari Our Time is Now. Kali ini, cahaya lilin mendapat bantuan dari lampu yang menyorot ke titik lakon.
Selesai dengan dua lagu, kuartet itu berganti dengan grup berikutnya. Malam itu, ada tujuh grup yang tampil, yaitu Insidia, Kicking Monday, Maecoustic, Melismatis, Fauziah Narulita, dan No Time To Run. Kesederhanaan ini dapat mengikat sekitar seratus penonton—yang membayar tiket masuk Rp 10 ribu—sampai akhir pergelaran, menjelang hari berganti. “Ini sebagai bentuk apresiasi bagi band-band indie yang ada di Makassar," ujar Vincentius Andreas Jusuf, penggagas gawean itu.
Indie berasal dari kata independent, yang berarti merdeka, berdiri sendiri, berjiwa bebas, dan tidak bergantung pada orang lain. Buang jauh-jauh keinginan mendengar lagu Cakra Khan dan Noah. Tujuh grup—yang masing-masing membawakan dua lagu—itu menyuguhkan alunan yang berbeda total dengan kebanyakan musik yang kita dengar sehari-hari. Lagu itu terasa ganjil bagi pendengar awal.
Melismatis, misalnya, hadir dengan perpaduan antara Islandic music ala Sigur Ros dan British pop yang diusung Radiohead serta dilengkapi dengan alunan gitar mendayu-dayu. Sedangkan Kicking Monday menyuguhkan Folks pop dan bossanova sehingga sekilas mirip grup band asal Norwegia, Kings of Convenience.
Andreas, personel No Time To Run, mengatakan tidak memusingkan keinginan pendengarnya saat bermusik. "Yang penting enak buat diri sendiri," katanya.
Ini merupakan pertama kalinya konser keroyokan grup band indie, di luar indie underground, digelar di Makassar. Andreas, 23 tahun, mengusung tajuk Story of E untuk mengenang anak temannya yang baru meninggal. "Awalnya iseng ingin buat pergelaran akustik, akhirnya sekalian saja buat konser," ujarnya.
Juang Malibu, 22 tahun, girang bukan kepalang mendapat kesempatan manggung. Bagi gitaris Melismatis ini, tampil di depan penonton memberi kepuasan tertinggi bagi pemusik. Grupnya terbentuk pada 2006 dan tahun lalu mereka menggelar tur di empat kota di Jawa. "Konser tidak seperti rekaman," ujarnya.
Grupnya tengah dalam proses rekaman untuk album pertama. Mahasiswa Universitas Pasundan, Bandung, jurusan musik ini menganggap, menelurkan album adalah sekadar proses yang harus mereka jalani supaya lebih banyak yang mendengarkan karya mereka.
Seorang penonton, Eka, datang ke gedung kesenian yang dibangun Belanda pada abad XIX itu demi mendengar musik yang beda. "Daripada yang itu-itu saja," kata warga Tamalanrea ini. Dia berharap event serupa bisa hadir lagi di Kota Daeng.
Hal itu juga jadi harapan Andreas. Diiyakan Juang, dia menilai kualitas grup band indie Makassar tidak kalah oleh senior-senior mereka di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta sehingga layak mendapat panggung yang lebih banyak. "Jangan sampai karya-karya bagus ini kalah terkenal dari kerusuhan dan tawuran," kata warga Hartaco ini.
Meski belum bisa menjanjikan waktu dan tempatnya, Andreas ingin menggelar cerita-cerita lanjutan Story of E.
Sumber : Tmp/Mm
Comments
Post a Comment